Rapor Hijau Emiten Batu Bara, Berkah Booming Komoditasnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Tercatat setidaknya ada lima emiten tambang batu bara raksasa yang telah merilis laporan keuangan per semester I tahun ini. Secara umum, kelima emiten tersebut mengalami perbaikan kinerja selama paruh pertama 2021, di tengah reli harga kontrak berjangka (futures) batu bara New Castle semenjak awal Mei lalu.
Adapun emiten yang dimaksud adalah PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE), emiten milik pengusaha Kiki Barki PT Harum Energy Tbk (HRUM), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan emiten Grup Rajawali PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT).
Kinerja 5 Emiten Tambang Besar per Semester I 2021 (YoY)
Emiten | Pendapatan Semester I '21 | % Pendapatan (YoY) | Laba Bersih Semester I '21 | Laba Bersih Semester I '20 |
---|---|---|---|---|
Mengacu pada data BEI di atas, kelima emiten dalam analisis mengalami peningkatan pendapatan bersih selama periode enam bulan pertama tahun ini. Adapun, dua emiten berhasil mencetak lonjakan laba bersih, yakni FIRE dan ITMG.
Kemudian, dua emiten lainnya berhasil membalik rugi bersih semester I tahun lalu menjadi laba bersih, INDY dan SMMT. Sementara, satu emiten mengalami penurunan laba bersih di tengah pertumbuhan penjualan, yakni HRUM.
Mari kita bahas satu persatu secara singkat.
FIRE
FIRE membukukan kenaikan laba bersih 51,60% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 9,04 miliar per akhir Juni 2021, dari laba bersih Rp 5,97 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Peningkatan ini ditopang oleh pertumbuhan pendapatan bersih 2,26% menjadi Rp 510,03 miliar per semester I tahun ini. Keseluruhan penjualan batu bara FIRE dilakukan dengan pihak ketiga, dengan pelanggan terbesar adalah Noble Resources International, Ltd (Rp 141,71 M) dan Shen Hua Hong Kong International (Rp 140,25 miliar).
HRUM
HRUM melaporkan pendapatan sebesar US$ 115,72 juta atau setara dengan Rp 1,66 triliun (kurs Rp 14.500/US$) sepanjang paruh pertama tahun 2021, naik 12,85% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 102,55 juta (Rp 1,49 triliun).
Meskipun pendapatan perusahaan naik, laba bersih HRUM malah tercatat menyusut setengahnya atau turun 52,77% dari semula mencapai US$ 21,93 juta (Rp 317,98 miliar) pada semester I-2020, kini terkoreksi menjadi US$ 10,35 juta (Rp 150,07 miliar).
Lebih rinci, pendapatan dari penjualan ekspor batu bara naik menjadi US$ 108,96 juta dari semula US$ 96,09 juta.
Sementara, pendapatan sewa dari alat berat dan jalan pengangkutan masing-masing mengalami penurunan tipis.
Dua klien terbesar HRUM adalah China Huaneng Group Fuel Co., Ltd yang merupakan anak usaha dari BUMN pembangkit listrik China, dengan total transaksi mencapai US$ 61,53 juta.
Klien satunya lagi adalah perusahaan perdagangan asal Singapura, Sunny Ekspress International Development, dengan total nilai transaksi US$ 19,05 juta.
INDY
INDY berhasil membalikkan kinerja rugi bersih yang dialami di semester I-2020 menjadi laba bersih di semester I-2021 seiring dengan pemulihan harga komoditas, terutama batu bara.
Indika Energy mencatatkan laba bersih US$ 12,01 juta atau setara dengan Rp 174 miliar (kurs Rp 14.500/US$) di 6 bulan pertama tahun ini, dari periode yang sama tahun lalu rugi bersih US$ 21,92 juta atau Rp 318 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan INDY per Juni 2021, pembalikan kinerja dari rugi ke laba itu seiring dengan kenaikan pendapatan INDY pada periode tersebut.
Pendapatan INDY naik 14,15% menjadi US$ 1,29 miliar atau setara Rp 18,71 triliun dari sebelumnya US$ 1,13 miliar atau Rp 16,39 triliun.
Meski demikian beban pokok kontrak dan penjualan naik menjadi US$ 999,88 juta dari sebelumnya US$ 954,65 juta.
Penjualan batu bara luar negeri mendominasi sebesar US$ 740,25 juta, dari sebelumnya US$ 557,73 juta, sementara pelanggan dalam negeri US$ 292,92 juta dari US$ 237,81 juta.
Pendapatan terbesar induk usaha PT Petrosea Tbk (PTRO) ini disumbang dari lini bisnis sumber daya energi US$ 1,05 miliar, sisanya jasa energi US$ 194,40 juta, infrastruktur energi US$ 36,81 juta dan pendapatan lainnya US$ 4,54 juta
Dalam laporan keuangannya, manajemen INDY menyatakan, selama semester pertama tahun 2020, harga batubara kembali bergerak ke arah yang kurang menguntungkan untuk industri terkait ditambah lagi dengan dampak dari pandemi Covid-19.
Namun, harga batu bara kembali meningkat secara bertahap di akhir tahun 2020 dan membaik selama semester pertama tahun 2021.
ITMG
ITMG membukukan laba bersih sebesar US$ 118 juta atau setara dengan Rp 1,71 triliun (kurs Rp 14.500/US$) pada paruh pertama tahun ini, naik signifikan hingga 312% dari periode yang sama 2020 sebesar US$ 29 juta atau setara dengan Rp 420,5 miliar.
Peningkatan laba bersih ini salah satunya dipicu oleh momentum kenaikan harga batu bara setelah sebelumnya saat harga batubara sempat mengalami penurunan di tahun 2020.
Sepanjang paruh pertama 2021, perusahaan mencatat perolehan rata-rata harga batu bara sebesar USD 74,7 per ton, naik 34% dari USD 55,7 per ton di enam bulan awal tahun lalu.
Pendapatan selama semester pertama meningkat 3,68% dari sebelumnya sebesar US$ 652,63 juta (Rp 9,46 triliun).
Adapun pasar penjualan batu bara ITMG meliputi Tiongkok (2,7 juta ton), Indonesia (1,7 juta ton), Jepang (1,4 juta ton), Filipina (0,7 juta ton), Thailand (0,7 juta ton), dan negara-negara lain di Asia Timur dan Tenggara.
SMMT
Perusahaan emiten besutan taipan Peter Sondakh ini berhasil membalik rugi bersih Rp 7,09 miliar sepanjang semester I 2020 menjadi laba bersih Rp 44,08 miliar pada periode yang sama tahun ini.
Hal tersebut ditopang oleh kenaikan pendapatan bersih perusahaan 105,91% secara yoy menjadi Rp 180,88 miliar per 30 Juni 2021, dari Rp 87,84 miliar pada semester I 2020. Seiring dengan tumbuhnya pendapatan, beban pokok penjualan naik 73,58% menjadi Rp 139,75 miliar pada paruh pertama tahun ini.
Lebih rinci, total pendapatan SMMT pada semester I ini berasal dari penjualan kepada pihak ketiga domestik. Pada semester I tahun lalu, penjualan domestik SMMT mencapai Rp 69,92 miliar dan penjualan ekspor masih menyumbang Rp 17,93 miliar.
Adapun per 30 Juni 2021, pelanggan yang memiliki transaksi lebih dari 10% dari penjualan bersih adalah PT Artha Daya Coalindo, PT Indonesia Pasti Jaya, dan PT Sadikun Niagamas Raya.
Kinerja Saham yang Beragam
Di tengah perbaikan kinerja fundamental perusahaan, saham kelima emiten di atas memiliki kinerja yang beragam. (Lihat tabel di bawah ini).
Berdasarkan tabel di atas, secara year to date (ytd), ada tiga saham yang berhasil melesat, yakni HRUM, SMMT, dan ITMG. Saham HRUM melesat 63,76%, SMMT melejit 51,72%, dan ITMG 11,55%. Sementara, saham INDY dan FIRE anjlok secara ytd, masing-masing sebesar 23,12% dan 60,98%.
Adapun apabila ditilik dalam waktu sebulan terakhir, hanya saham SMMT dan FIRE yang berhasil mencuat. Bahkan, saham SMMT berhasil menduduki posisi pertama top gainers pada sesi I perdagangan hari ini setelah melonjak 34,35%.
Salah satu sentimen positif utama yang turut menjadi katalis untuk saham-saham batu bara akhir-akhir ini adalah reli kenaikan harga batu bara sejak awal Mei lalu.
|
Hari ini, harga batu bara bangkit setelah mengalami koreksi akibat aksi ambil untung (profit taking). Harga si batu hitam makin nyaman di atas US$ 160/ton.
Harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat US$ 166,3/ton. Melesat 1,4% dari hari sebelumnya. Bahkan, pada 16 Agustus 2021 harga batu bara sempat berada di US$ 169.75/ton, rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.
Toby Hassall, Analis Refinitiv, menilai setidaknya ada dua faktor yang membuat harga batu bara bisa tetap dalam tren bullish. Pertama adalah tingginya permintaan, terutama di China.
Bulan lalu, impor batu bara Negeri Tirai Bambu mencapai 30,18 juta ton. Melonjak 15,6% dibandingkan Juli 2020 (year-on-year/yoy).
Kedua adalah tingginya harga gas alam. Dalam sepekan terakhir, harga gas alam naik 2,45%.
Ini membuat batu bara menjadi menarik sebagai sumber energi primer pembangkit listrik karena harganya lebih murah. DI Eropa, biaya pembangkitan listrik berbahan bakar gas alam adalah EUR 47,75/MWh pada 16 Agustus 2021. Pada saat yang sama, biaya pembangkitan berbahan bakar batu bara hanya EUR 40,24/MWh.
TIM RISET CNBC INDONESIA